Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Timor Timur: The Untold Story

Judul: Timor Timur: The Untold Story
Penulis: Kiki Syahnakri
Penerbit: Kompas, 2012
Tebal: 480 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312


Puri Ratna, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu sore pekan lalu, menjadi ajang reuni para pensiunan jenderal TNI-AD. Mulai Try Sutrisno, Wiranto, A.M. Hendropriyono, Sudrajat, hingga Endriartono Sutarto. Dari sipil, bergabung mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan mantan Duta Besar Lopes da Cruz.

Semua bergabung dalam sukacita. Demikian pula sekitar 250 orang yang hadir dalam peluncuran buku Timor Timur: The Untold Story karya Letjen TNI (purnawirawan) Kiki Syahnakri. Mantan Wakil KSAD (2000-2002) ini akhirnya meluncurkan otobiografi setelah ia pendam keinginan itu 12 tahun lamanya.

Timor Timur (kini Timor Leste) tampaknya masih menjadi magnet untuk diulas dari berbagai sisi dan saksi. Dari sisi wartawan yang meliput (Rien Kuntari dan Lela E. Madjiah), politisi (Yuddy Chrisnandy), hingga para tentara yang pernah bertugas di sana seperti Zacky Anwar Makarim, dan kini Kiki.

Khusus Kiki, ia menghabiskan waktu cukup lama dalam kariernya di TNI untuk bertugas di bumi Timor Lorosae. Tiga tahun setelah lulus dari Akabri pada 1971, ia ditempatkan di Atambua, tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Timor Portugis. Ketika Timor Timur membara pada 1999, ia menjadi panglima penguasa darurat militer.

Tak hanya itu. Ia juga berjumpa dengan belahan jiwanya, Ratnaningsih, di sana. Jenderal kelahiran Karawang, Jawa Barat, 22 April 1947, ini pun satu dari sedikit prajurit TNI yang fasih berbahasa Tetun, bahasa lokal orang Timor.

Dalam diskusi, ikut berbicara J. Kristiadi, Yenny Wahid, dan Asisten Operasi KSAD Mayjen TNI Dedi Kusnadi Thamim. Menurut Kristiadi, dalam bukunya, Kiki bicara sangat halus. "Kiki berhasil mengungkapkan beberapa untold story dengan bijak dan ambil jarak sehingga tidak ada kebencian," ujarnya.

Penilaian ini ada benarnya. Dalam mengungkapkan perseteruannya dengan Kolonel (waktu itu) Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Wakil Komandan Kopassus pada 1995, Kiki mengakhiri sub-bab tersebut dengan perdamaian, jauh dari permusuhan dan terkesan menjaga jarak aman dengan Prabowo.

Perseteruan diungkap Kiki bahwa ketika Kopassus tiba di Timor Timur untuk melakukan operasi khusus dengan sandi Operasi Melati. Prabowo, yang saat itu menantu penguasa Presiden Soeharto, menginginkan pembentukan massa tandingan dalam menghadapi demonstrasi anti-pemerintah, demi menghindari kesalahan ditimpakan kepada TNI.

Yang menarik, di halaman 196, Kiki secara detail menuliskan adu argumen --jika bukan pertengkaran-- dirinya dengan Prabowo. Ia pun sempat mempertanyakan (dalam hatinya) mutasi dirinya dari Danrem Timor Timur, yang terjadi dua minggu setelah keributan kedua di antara mereka.

Pun dalam menulis hubungan TNI dengan Gereja Katolik Timor Timur, dalam hal ini dengan Uskup Belo, yang selalu negatif. Seakan tak ingin memancing provokasi, Kiki menyatakan bahwa sikap yang diambil Uskup Belo harus dilihat dengan imbang mengapa uskup Dili mengambil sikap seperti itu.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyebutkan bahwa buku setebal 436 halaman ini seperti film: ada kisah heroik, kisah cinta, dan nilai humanisme. "Ketiganya ada, dan itu merupakan nilai yang cukup tinggi," kata Purnomo dalam sambutannya.

Purnomo tak keliru. Dalam buku ini, Kiki seakan berusaha menjadi sosok prajurit TNI yang humanis. Dalam berbagai penjelasan soal strategi perang gerilya, ia bolak-balik menyebutkan, kesalahan yang dilakukan pihak Indonesia sehingga gagal menarik simpati rakyat Timor Timur adalah tidak mampu merebut hati rakyat. "Yang dihitung selalu saja kuantitas, berapa yang terbunuh, berapa senjata yang terkumpul," ungkapnya.

Saking humanisnya pula, Kiki berusaha memaklumi ulah para Pejuang Pro-Integrasi (PPI) yang membumihanguskan dan membunuh banyak orang Timor Timur pro-kemerdekaan serta petugas PBB (UNHCR). "Mereka sudah berpuluh tahun berjuang bersama RI namun seperti dibuang begitu saja oleh Pemerintah RI," tulisnya.

Buku ini tak hanya memuat karier ketentaraan Kiki, melainkan juga banyak hal mengenai proses pasca-referendum, sepak terjang UNAMET dan Interfet, serta kegeraman Kiki atas tiadanya media lokal, nasional, maupun internasional yang mau memuat pernyataan TNI.

Dari sisi prajurit TNI, Kiki boleh jadi tidak hanya membela diri atas apa yang telah dilakukan TNI, melainkan juga berusaha mengimbanginya dengan evaluasi kritis soal operasi TNI di sana.

Bernadetta Febriana