Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas

Judul: Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas
Penulis: Thomas Hidya Tjaya
Penerbit: KPG, 2012
Tebal: 178 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 30.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Kelahiran dan kematian, kepastian dijalani manusia. Kelahiran manusia bukan sekadar keterlemparan di dunia. Kelahirannya mengembang amanah belajar dan berhadapan pelbagai obyektivasi (pelabelan) ruang sosial melingkupinya. Manusia harus menyerap pembelajaran dari pertemuan-pertemuan dilakoninya. Entah pertemuannya dengan alam, wajah-wajah manusia lain. Pertemuan itu tiada lain menuju proses kematian. Peristiwa kelahiran manusia tidak bisa dielakkan, perjumpaan-perjumpaan mesti digeluti.

Peristiwa lain tidak bisa disangkal manusia, kematian. Jean Paul Sartre menasbihkan “kita tidak bisa memilih tibanya maut itu, sebab ia bukan lagi kemungkinan melaingkan nistanya kita sebagai eksistensi (Fuad Hasan, 2014:244). Kematian manusia bisa datang kapan saja dan kematian bisa ditempuh dengan sengaja bunuh diri, berperang, bertabrakan, dan pembunuhan disengaja. Kenyataan ini menandakan, kematian datang dengan pertemuan-pertemuan dengan wajah orang lain. Wajah orang lain selalu menyimpang enigma bagi yang lain. Sirat wajah diantara pertemuan, ada ingatan terbenam pada diri si “aku”.

Ingatan berupa masa lalu dipetik dari pertemuan-pertemuan si “aku” bisa jadi mengantarkannya pada kematian. Atau, kenyataan itu mengantarnya pada rasa traumatis, ketakutan, dan kekalutan pada diri si aku. Ketegangan-ketengan si aku terhadap yang lain suatu dilema mengenai wajah-wajah orang lain. Wajah orang lain suatu enigma. Thomas Hidya Tjaya berusaha menelah pemikiran Emmanuel Levinas dalam karyanya Enigma Wajah Orang Lain Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Tjaya bersiarah di karya-karya Levinas, menemukan wajah orang lain sebagai pengusik si aku. Aku yang dimaksud disini, entitas manusia yang personal atau kedirian identitas diri manusia.

Orang lain sebagai pengusik si aku, wujud dari ketegangan kehidupan Levinas. Levinas yang hidup pada pergeloakan perang dunia I dan II menciptakan ketegangan akut baginya. Ia mengalami semacam rasa vertigo yang menyergapnya. Bagaimana tidak, lebih dari enam juta orang, sebagian besar orang-orang Yahudi mati di tangan tentara Nazi dalam peran dunia dua (hal.1). Bagi Emmanuel Levinas (1906-1945), filsuf Prancis yang kehilangan hampir semua anggota keluarganya habis di tangan Nazi, ingatan akan peristiwa holocaust atau Shoah, ini bagian tumor yang tidak tersembuhkan (hal.2).

Buah pikir Levinas bukan hanya berasal dari ketegangan di rasainya. Tapi, ia bertemu karya-karya filsuf  Rusia seperti Lermentov, Gogol, Turgenev, Tolstoy, Doestvoevsky, Pushkin. Karya pemikir rusia ini membawa Levinas menggeluti filsafat. Selain itu, Levinas memusatkan kajian filsafatnya pada pemikiran Edmund Husserl dan Henry Bergson (hal.8). dari kedua tokoh itu, Levinas belajar gaya filsafat fenomenologi. Fenomenologi baginya bukanlah seperangkap konsep atau teori. Fenomenologi adalah praktik sosial (24).

Praktik social itu kita bisa dilakoni ketika berhubungan dengan orang lain. Relasi hubungan itu sudah barang tentu dilandasi tata laku yang harus dipraktikkan. Ada tata krama dan hukum moralitas mengikat manusia, yang disebut etika. Namun, Levinas berusaha melampaui konsep etika ini dengan melihat sebuah situasi atau ruang di mana kita merasa terusik dan dituntut memberikan tanggapan pada kehadiran ornag lain (47). Cara hidup yang baik  sebagai manusia  atau menyangkut aturan-aturan yang harus ditaati, melainkan pertemuan-pertemuan kongkret dengan orang lain. Etika dan moral mestinya dibangun atas dasar pertemuan ini (hal. 48).

Pertemuan itu dianalogikan dalam novel All Qulet On The Western karya  Eric Mania Remarque (hal.69). novel ini menceritakan  seorang serdadu terpisah dengan rombongannya  dan membunuh lawannya yang sedang terjatuh ke dalam parik. Kemudian Ia menyadari bahwa orang yang ia bunuh, saudaranya sendiri. Ia manusia yang sama dengan dirinya dengan melepeskan segala identitas yang melekat terhadap serdadu dibunuhnya. Ia juga menyadari, kematian sang serdadu meninggalakn kesedihan bagi keluarga yang ditinggalnya. Wajah serdadu itu memperlihatkan ketelanjangan dan keterberdayaan, ketakutan dan kecemasan mendalam terhadap kematian (hal.83). Manusia selalu tidak berdaya dengan ancaman dan penyesalan selalu lahir setelah tindakan manusia. Maka, ketelanjangan yang merupakan sebuah panggilan terhadapku-sebuah permohonan-tapi juga perintah-aku sebut wajah (hal.84). Dari sinilah perlunya sensibilitas untuk menelenjangi pertemuan dengan orang lain demi mendapatkan kesadaran etis (hal.88).

Levinas berusaha melampaui humanisme untuk orang lain. Seorang bertindak bukan hanya sekadar untuk dirinya, tapi juga untuk orang lain. Pembebasan untuk diri si “aku” harus membebaskan diri orang lain dari pelbagai ketertindasan, kekerasan, dan ketidakadilan dialami orang lain. Sebab, wajah orang lain sebagai jejak yang tak terbatas (hal.156).

Tugas kemanusiaan seorang manusia membebaskan orang lain kematian yang di sengaja, dan belenggu dari si aku terhadap yang lain. Begitupun, sebaliknya. Meskipun, kematian suatu yang alamiah tidak dapat dihindarkan. Tapi, kematian sulit diterima apabila kematian itu disebabkan orang lain (hal.158). Kasus kematian disengaja menimpah beberapa tokoh bangsa ini seperti pembunuhan pejuang Hak Asasi Manusia Munir, wartawan Udin dan Penyair Wijih Tukul. Kematian mereka menyisakan ketidakadilan bagi orang yang ditinggalkannya. Penanggungjawab terhadap kematian mereka, jalan sunyi keadilan untuk ditegakkan. Pembunuhan terencana bagi mereka, ihwal kematian sensibiltas perasaan, nurani manusia. Kematian sesungguhnya manusia ketika mengalami kekosongan nurani.

Ketidakbertanggungjawaban pembunuhan terhadap orang lain hanya memperpanjang malam dan menunda datangnya fajar kemanusiaan dan trasendensim (hal.164). Maka dari itu sejarah gelap bangsa Indonesia mesti dibuka sejujur-jujurnya. Mulai dari Korban pembrontakan PKI, dan pembunuhan Massal Keluarga PKI pada peristiwa 1965-1966. Kebesaran bangsa ini, ketika para elit dan masyarakat berbesar hati membuka sejarah sejujurnya. Memenuhi rasa keadilan para korbannya. Jangan biarkan generasi muda selalu dalam kegelapan dan sejarah yang ambigu. Justru, kemisteriusan suatu sejarah, rasa ingin tahu anak muda semakin tinggi. Kehobongan  disembunyikan, akan terungkap perlahan-lahan. Sudah cukup pertikaian yang dibuat masa lalu, jangan biarkan kami bertikai lagi. Bukalah, kejujuran sejarah itu!

Dari model filsafat Levinas, kita melihat pertemuan-pertemuan wajah manusia. Berfilsafat berarti mempraktikkan laku manusia berbudaya, memahami, menafsir, dan jalan menuju kematian baik-baik. Filsafat membunuh prasangka, menumbuhkan kembali nurani manusia. Pesan ini di bawa dari filsafat fenomenologi Emmanuel Lavinas dari ketegangan-ketegangan wajah yang ditemuinya. Maupun, wajah yang sering mengalami ketegangan dengan kematina keluarganya.

Buku ini menyingkap pemikiran Levinas disampaikan secara gamblang kepada pembaca, disampaikan dengan interpretasi sederhan dan mudah dipahami. Sebagai hasil tafsiran dari berbagai karya Levinas, bisa jadi penulis terjebak pada persepsinya sendiri pada pemikiran Levinas. Buku ini lebih cocok  disebut pengantar pemikiran Levinas daripda sebagai buku biografi. Buku ini lebih banyak menyoroti pemikiran Levinas daripada sosok Levinas sendiri sebagai pemilik wajah.