Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan

Judul: Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan
Penulis: M. Alfan Alfian
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: 386 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Kehidupan adalah insting untuk menumpuk kekuasaan, di saat nafsu berkuasa berhenti, maka berhenti pulalah kemajuan peradaban.

Dalil ini, setidaknya, dipercaya oleh Frederich Nietzche, sang pengggas eksistensialisme. Meski banyak bukti yang bisa membalik asumsi garang itu, namun tak kurang-kurang pula catatan sejarah yang bisa menjadi alat pembenaran. Betapa dunia dipenuhi oleh peradaban-peradaban besar, yang dihela oleh manusia-manusia unggulan (sekaligus sangat pekat dipenuh naluri untuk berkuasa).

Dan buku ini sepenuhnya membincang genealogi (seluk beluk) kekuasaan. Terutama dalam terma kekuasaan politik. Begitu detil dan menelusur ke segala sudut. Mulai dari petikan-petikan filosofis-puitis tentang kekuasaan, dasar-dasar teori kekuasaan, ideologi, hingga catatan orang-orang besar yang pernah sangat berkuasa.

Nyaris saja, jika buku ini ditulis lebih tebal dan panjang, menjadi text book terpenting seputar politik dan kekuasaan (minimal untuk konteks pembaca di Indonesia). Satu hal perlu diingat, penulis buku ini tergolong pengamat politik prolifik, begitu produktif, dan mampu menulis pembahasan dengan ide berat, tetapi melalui bahasa yang mudah. Dia adalah M. Alfan Alfian, Alumni HMI dan kini menjadi pengajar Ilmu Politik di sejumlah kampus di Jakarta.

Bagian terpenting, buku ini mengurai pengertian dasar dari kekuasaan. Lewat telaah multi perspektif, penulis buku ini mengangkat satu pendekatan yang paling mudah, demi memahami makna kekuasaan. Di halaman 218 misalnya, dalam Bab Arti Penting Kekuasaan, menukil Robert A. Dahl, bahwa pada pokok batang kekuasan, hanya melulu menjulur dalam sejumlah ranting, yaitu : power, influece, authority, and rule. Sisanya, yang lain-lain adalah soal akar tunjang kekuasaan, tanah penyubur, atau mungkin dedaunan saja yang terdapat dalam “pohon besar” kekuasaan.

Sumber Kuasa
Kekuasaan diperoleh dari banyak sumber. Benar atau salah, faktual atau mitos, via jalan damai atau perang berdarah, bukanlah urusan penting. Maksudnya, banyak sumber dan banyak cara untuk memperoleh kekuasaan, dan agar kekuasaan dipercaya kebenarannya dan bisa langgeng, maka ia butuh “pembenaran”, atau dalam bahasa politik moderen disebut legitimasi.

Inilah yang penting. Bahwa ketika sumber kekuasaan diklim sebagai datang dari Tuhan, maka ia butuh legitimasi agama. Saat kekuasaan datang dari kekuatan takhayul (seperti Nyi Roro Kidul, dalam klaim raja-raja Mataram), maka ia butuh legitimasi mitos. Sementara di alam demokrasi moderen, sumber kekuasaan diperoleh melalui legitimasi hukum dan pemilu yang sah.

Jika pilar dasar kekuasaan telah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah menemukan basic of power atau basis kekuasaan. Perkara ini, seperti terurai di halaman 237 buku ini, terletak pada: (1) paksaan; (2) imbalan; (3) persuasi; dan (4) pengetahuan. Olehnya, muncul beragam istilah, seperti kekuasaan paksaan atau kekuasaan pengetahuan (the power of knowledge). Meski basis kekuasaan bergerak dalam empat alur itu, kesemuaanya tetap membutuhkan atribut kekuasaan, dalam bentuk simbol, ikon, sistem nilai, ideologi, atau bahkan konstitusi.

Atribut Kuasa
Hari ini kita mengenal lanskap baru dalam atribut kekuasaan, yaitu imagology (sebagai dasar filosofisnya), politik pencitraan (sebagai metode), dan kekuasaan televisual (sebagai wahana). Metodologi canggih tersebut, meski bersifat baru, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar kekuasaan yang sudah lazim, melainkan hanya mengemasnya secara menarik.

Dengan demikian, dalam politik pencitraan, mitos pun masih perlu. Hal ini, seperti ditegaskan Karen Armstrong, bahwa mitos bukanlah masalah informasi faktual, melainkan efektivitasnya (halaman 261). Selain mitos, juga pernak-pernik persepsi, yang terdapat dalam simbol, ikon, gambar, atau bahkan berita, sebagai bagian yang perlu hadil dalam pencitraan. Dengan demikian, kekuasaan juga adalah masalah persepsi.

Kembali lagi, seperti dikatakan Nietzche, bahwa hasrat berkuasa adalah penggerak kemajuan. Memang benar. Itupun jika menelisik bahwa ketika kekuasaan diperoleh, maka langkah berikutnya adalah melaksanakan dan melanggengkan kekuasaan. Di sinilah, para penguasa membutuhkan aksi nyata. Bagaimana?

Pemimpin Puisi
Ada individu dengan genggaman kekuasaan besar di tangan yang bertindak begitu produktif, mampu memuaskan dan menggiring pengikutnya mencapai tujuan-tujuan bersama. Tetapi ada juga penguasa yang gagal. Buku ini menyebutkan bahwa banyak kisi yang menjadikan pemimpin gagal ataupun berhasil. Salah satunya, dengan menyebut perlunya visi pemimpin dalam mengoperasikan kekuasaan.

Mengutip Richard Nixon, mantan Presiden AS, bahwa “pemimpin itu adalah puisi”, dan manager itu adalah prosa (lihat halaman 16). Di sini jelas, pemimpin bergerak dalam konteks imajinasi, menggerakan emosi, melakukan abstraksi, dan bermain dengan gagasan-gagasan visioner. Sementara manajer adalah bekerja karena adanya job description yang jelas. Pemimpin mengejar target yang akan datang, sementara manajer mengejar target hari ini. Dunia memiliki contoh penting, tentang penguasa yang maha besar, tetapi lenyap seketika, karena tak memiliki visi. Salah satunya, seperti ditulis Jhon Man, adalah Jenghis Khan!

Terakhir, sebagai pengingat, banyak juga contoh kepemimpinan dan genggaman kekuasaan yang menakjubkan, di tangan beberapa gelintir manusia terpilih. Misalnya, Mahatma Gandhi, yang dengan sadar memilih jalan ahimsa (tanpa kekerasan) dan swadesi (melayani kebutuhn sendiri). Hal ini, persis diungkapkan oleh Agus Salim, bahwa memimpin adalah menderita, atau Leiden is Lijden.