Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media

Judul: Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
Penulis: Eriyanto
Penerbit: LKiS, 2012
Tebal: 372 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 75.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Di era digitalisasi dan keterbukaan informasi saat ini, masyarakat harus semakin jeli dalam memilih berita agar tidak mudah terprovokasi, tidak mengikuti agenda setting media serta masih dapat mempertahankan “netralitas”nya sebagai pembaca.

Untuk itu, pembaca harus mencoba menelisik lebih jauh “bagaimana” dan “mengapa” berita-berita itu dihadirkan, maka kita akan segera mengetahui bahwa terdapat motif politik dan ideologis tertentu yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut. Cara membaca yang lebih mendalam dan jauh ini disebut dengan analisis wacana.

Analisis wacana adalah alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih didominasi analisis isi konvensional dengan paradigm positivis atau kontruktivisnya.

Melalui analisis wacana, kita akan tahu bukan hanya bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana dan mengapa pesan itu dihadirkan. Bahkan, kita bisa lebih jauh membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks-teks berita.

Menurut Dr. Deddy N Hidayat dalam kata pengantar buku ini, analisis wacana atau critical discourse analysis tidak saja untuk melakukan textual interrogation tetapi juga untuk mempertautkan hasil interograsi tersebut dengan konteks makro yang “tersembunyi” di balik teks, sehingga suatu academic exercise ataupun dalam rangka upaya penyadaran, pemberdayaan dan transformasi sosial (halaman ix).

Analisa wacana memperhatikan dan menganalisis teks berita melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna tersembunyi dari suatu teks.

Salah satu kekuatan dari analisis wacana adalah kemampuannya untuk melihat dan membongkar praktik ideologi dalam media.

Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana yaitu :

Pertama, pandangan kaum positivismeempiris, dimana bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan obyek di luar dirinya.

Menurut kelompok ini, wacana diukur dengan mempertimbangkan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik.

Kedua, pandangan konstruktivisme yang banyak dipengaruhi pemikiran fenomenologi. Menurut kelompok ini, analisis wacana dimaksudkan sebagai analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Ketiga, pandangan kritis. Menurut pandangan ini, analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi.

Karakteristik dari analisis wacana kritis mengandung lima prinsip yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi. Terkait dengan tindakan, ada dua konsekuensi dalam memandang wacana yaitu wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan untuk mempengaruhi, mendebat, menyangga, membujuk, bereaksi dll dan wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar atau terkontrol.

Terkait dengan konteks, menurut Guy Cook dalam bukunya The Discourse of Advertising (1994), ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks dan wacana.

Teks adalah semua bentuk bahasa (kata, ekspresi komunikasi, ucapan, music, gambar, efek suara, citra dll). Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar konteks.

Wacana kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Terkait dengan historis, analisis wacana memerlukan tinjauan mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu dst.

Terkait dengan kekuasaan, pemilik atau politisi yang kuat menentukan sumber mana atau bagian mana yang harus diliput dan sumber dan bagian mana yang tidak perlu diliput.

Terkait dengan ideologi, analisis wacana dalam konteks berita untuk mengetahui apakah teks yang muncul pencerminan dari ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis dll (hal 14).

Analisis wacana kritis berutang budi kepada beberapa intelektual dan pemikir seperti Michael Faucoult yang terkenal dengan teori wacana, Antonio Gramsci, sekolah Frankfurt dan Louis Althousser.

Gramsci dikenal dengan teori hegemoninya. Althausser dikenal dengan teori ideologinya, sedangkan orang yang berhasil menerjemahkan dengan baik teori Gramsci di satu sisi dan teori Althusser di pihak lain dalam hubungannya dengan media adalah Stuart Hall dan koleganya dari Center for Contemporary Cultural Studies di Brimingham, Inggris.

Setidaknya ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis yaitu : pertama, analisis bahasa kritis (critical linguistics) yang diperkenalkan Halliday dari Universitas East Anglia pada tahun 1970-an.

Intisari dari critical linguistics adalah melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu atau dengan kata lain pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai mencerminkan ideologi tertentu.

Kedua, analisis wacana pendekatan Perancis dikembangkan Pecheux yang banyak dipengaruhi Faucoult dan Althusser. Menurut Pecheaux, bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologi.

Ketiga, pendekatan kognisi sosial yang dikembangkan Teun Van Dijk dari Universias Amsterdam, Belanda. Menurut Van Dijk, wacana cenderung memarjinalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Keempat, pendekatan perubahan sosial yang memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial.

Fairclough banyak dipengaruhi Foucault dan pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Menurutnya, wacana melekat dalam situasi, institusi dan kelas sosial tertentu.

Kelima, pendekatan wacana sejarah yang dikembangkan di Universitas Vienna, Austria dibawah Ruth Wodak yang banyak dipengaruhi sekolah Frankfurt, khususnya Juergen Habermas.

Menurut Wodak, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.

Menurut Tonny Bennet dalam Media, Reality and Signification (1982), media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.

Sedangkan, Robert A Hacket dalam “Declime of A Paradigm ?: Bias and Objectivity in News Media Studies”, Critical Studies in Mass Communication (1984) menyatakan, bahasa tidaklah mungkin bebas nilai, karena itu realitas hendak dibahasakan, selalu terkandung ideologi dan penilaian.

Dalam buku yang terdiri dari 12 bab ini, banyak menggambarkan pemikiran-pemikiran cerdas beberapa tokoh terkait dengan komunikasi massa dan pemberitaan media.

Michael Faucoult dalam teori wacana misalnya wacana harus dipahami tidak hanya sebagai serangkaian kata, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain seperti gagasan, konsep atau efek.

Menurut Faucoult, mereka yang memiliki pengetahuan akan memiliki kekuasaan, karena akan mampu mengontrol wacana yang berkembang (hal 65).

Dalam konteks hubungan antara pembuat berita dengan pembaca, teori Faucoult dikembangkan Stuart Hall. Hall mengelompokkan dalam tiga jenis hubungan antara penulis dan pembaca yaitu :

Pertama, posisi pembacaan dominan. Penulis menggunakan kode-kode yang bersifat umum dan dapat diterima secara langsung oleh pembaca. Kondisi ini tercipta jika penulis dan pembaca mempunyai ideologi yang sama.

Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan, yaitu apa yang dikemukakan penulis belum secara langsung dapat diterima khalayak, namun masih menegosiasikan dengan berbagai pertimbangan kepercayaan dan keyakinannya.

Ketiga, pembacaan oposisi yang banyak ditentukan oleh ideologi pembaca dalam menganalisis sebuah berita/wacana (halaman 97).

Sedangkan teori ideologi yang dikembangkan Althusser, pada dasarnya ada dua dimensi hakiki negara yaitu Repressive State Aparatus (RSA) dan Ideological State Aparatus (ISA).

RSA dijalankan dengan cara memaksa, sedangkan ISA dilakukan dengan jalan mempengaruhi. Media massa menurut Althusser termasuk golongan ISA.

Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni menilai, media dapat dijadikan sarana suatu kelompok untuk mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.

Kecenderungan media untuk lebih memberi tempat pada pendapat pengusaha daripada pekerja atau petani atau menggunakan prinsip name make news banyak dipengaruhi pemikiran Gramsci (halaman 105).

Dalam membuat analisis wacana, harus dilihat dari bagaimana cara media memaknai realitas ? Ada dua proses besar yang dilakukan media yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta.

Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekadar teknis jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Disamping itu tidak menutup kemungkinan media salah dalam melakukan penggambaran atas suatu realitas yang disebut dengan misrepresentasi yang dapat dilakukan media, dengan empat cara yaitu ekskomunikasi yaitu bagaimana seseorang atau kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik, eksklusi (bagaimana seseorang atau kelompok dikucilkan dari pemberitaan).

Menurut Faucoult, eksklusi dapat dilakukan dengan pembatasan apa yang bisa dan tidak bisa dimuat dan membuat klarifikasi mana yang boleh dan tidak boleh.

Misrepresentasi juga dapat dilakukan melalui marjinalisasi atau penggambaran yang buruk terhadap kelompok lain melalui eufemisme (penghalusan bahasa), disfemisme (bahasa pengasaran), labelisasi dan stereotype.

Misrepresentasi juga dapat terjadi karena delegitimasi yaitu bagaimana seseorang atau kelompok dianggap tidak sah. Bahasa yang legitimate sering muncul melalui pemakaian jargon dan alasan-alasan legal formal.

Menurut Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew dalam critical linguistics melihat bagaimana tata bahasa atau grammar tertentu dan pilihan kosakata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu.

Theo van Leeuwen pada intinya menekankan bagaimana kelompok ditampilkan melalui media. Ada dua cara yaitu pertama, eksklusi atau proses pengeluaran melalui pasivasi (membuat kalimat pasif sehingga subyek menjadi kabur), nomalisasi (merubah kata kerja menjadi kata benda dengan “pe-an”).

Kedua, inklusi atau proses pemasukan melalui deferensiasi-indiferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi (anonym karena bukti belum cukup kuat)-indeterminasi, asimilasi (banyak)-individualisasi, dan asosiasi (glorifikasi)-disasosiasi.

Sara Mills banyak menulis teori wacana dari Foucault, namun dalam perspektif feminis dengan titik perhatian adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita. Sara Mills menekankan pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks.