Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Lumbung Pangan: Menata Ulang Kebijakan Pangan

Judul: Lumbung Pangan: Menata Ulang Kebijakan Pangan
Penulis: Hira Jhamtani
Penerbit: INSIST Press, 1984
Tebal: 154 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Buku yang ditulis oleh Hira Jhamtani—aktivis gerakan lingkungan hidup yang berbasis di Bali—ini memaparkan sebentang persoalan terkait isu ketahanan pangan yang secara umum terjadi di Indonesia, menyusul perubahan situasi ekonomi dan politik pasca-Reformasi 1998. Memang, karena terbit tahun 2008, buku ini tidak berisi bacaan-bacaan terbaru untuk konteks pemerintahan era Jokowi, ataupun masa-masa penghujung SBY. Tapi paling tidak, Jhamtani menawarkan suatu cara berpikir kritis dalam melihat sekaligus menanggapi isu ketahanan pangan di negeri ini.

Yang paling dominan menjadi stand point buku tersebut, menurut tangkapan saya, terletak pada empat hal. Pertama, negara kita (dalam konteks waktu buku itu dibuat dan cakupan penelitiannya) belum pernah berhasil mencapai keadaan ‘swasembada pangan’; yang terjadi adalah semata ‘swasembada beras’. Kedua, sistem monokultur—yang besar-besaran digalakkan lewat Revolusi Hijau milik Orde Baru—adalah salah satu penyebab utama yang mengerdilkan pertanian, petani, dan sistem ketahanan pangan kita. Padahal, menurut pandangan Jhamtani, keanekaragaman hayati (dan pengelolaan pertanian dengan tanaman beragam—bukan semata beras) adalah sesuatu yang seharusnya perlu dibudidayakan. Ketiga, keberpihakan terhadap ilmu pengetahuan pertanian lokal (dengan kata lain, kearifan lokal) yang berwawasan sosio-ekologis. Menurut pandangan Jhamtani, pada kenyataannya banyak inisiatif-inisiatif lokal yang mencoba mengembangkan berbagai metode demi menemukan bibit unggul—Afifah pernah mengatakan kepada saya, aksi itu disebut upaya untuk “pemuliaan benih”—lewat praktik-praktik berbasis komunitas. Sayangnya, aksi para petani ini disepelekan (karena mereka dianggap bukan ilmuwan oleh kalangan elite) dan bahkan sering dikriminalisasi dengan tuduhan “praktik pencurian metode” ataupun “praktik mendistribusikan benih yang tidak bersertifikasi”. Keempat, adalah hak (petani) atas benih. Jhamtani dengan keras mengkritik pemerintah yang masih saja menitikberatkan subsidi dan insentif (secara terselubung) kepada perusahaan-perusahaan besar yang selalu mempertahankan kekuatan untuk memonopoli arus produksi dan distribusi (perdagangan) pangan, di samping kelemahan pemerintah di tingkat global dalam menghadapi tekanan yang muncul akibat perdagangan bebas.

Secara kemasan, buku ini barangkali akan agak membosankan ketika dibaca, karena banyak halamannya yang berisi data-data statistik. Tapi terlepas dari itu, terdapat banyak informasi penting yang mengamini praktik-praktik “pertanian berbasis komunitas” atau “inisiatif pengembangan sistem pangan berbasis masyarakat”, ditambah dengan kilasan-kilasan kisah dari beberapa wilayah tentang contoh-contoh nyatanya. Selain itu, pada bagian terakhir—buku ini secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yakni “Mati Kelaparan di Lumbung Padi” (Bab 1), “Dari Sesat Pikir Sampai Salah Arus” (Bab 2), dan “Sistem Pangan Berbasis Masyarakat” (Bab 3)—terdapat saran dari Jhamtani tentang bagaimana kita harus mengubah paradigma kita untuk mengembangkan pengetahuan dan aksi pengembangan sistem pangan berbasis masyarakat.

Saya rangkum sebagai berikut: (1). Peralihan dari sistem industrialisasi monokultur menuju sistem lokal yang beragam; (2). Perubahan dari sistem pertanian berbasis produksi menjadi pertanian berbasis petani dan sumber daya lokal; (3). Beralih dari pertanian berbasis kimia-pertanian menuju praktik pertanian yang ramah lingkungan; (4). Perubahan dari sistem perencanaan serba terpusat menjadi perencanaan berbasis masyarakat lokal; (5). Perubahan sistem pembangunan yang tidak terpadu menjadi sistem pembangunan terpadu.

Terkait dengan kilasan-kilasan kisah yang saya sebutkan itu, Jhamtani memaparkan dengan cukup menarik cerita tentang kriminalisasi 12 orang petani di Jawa Timur yang mulai terjadi sejak tahun 2003, terutama kasus yang menimpaTukirin akibat tuntutan yang diajukan oleh PT BISI. Pada kisah ini, Jhamtani menunjukkan bagaimana ketidakadilan yang selama ini menimpa para petani hanya karena mereka berusaha mengembangkan ilmu dan praktik pertanian menurut cara mereka sendiri, serta minimnya perlindungan hukum bagi petani. Sedangkan kisah yang lain, adalah bukti-bukti konkret dari kearifan lokal yang berdampak sangat baik bagi ketahanan pangan masyarakat, yakni “Orang Boti: Pengamal Gandhi di Timor” (disadur Jhamtani dari Rahardjo [2007]); lalu kisah “Burger dari Kepulauan Kei” (disadur Jhamtani dari Yayasan Nen Mas II [1999)]; dan kisah “Tenganan, ‘Negara Kesejahteraan’ di Pedalaman Bali” (disadur Jhamtani dari JED, Yayasan Wisnu Bali [2006]); serta contoh konkret yang dilakukan oleh para petani dan masyarakat di Desa Giyombong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang mampu mempertahankan pangan karena membudidayakan leye (makanan dari ketela) sebagai bahan pangan alternatif.

Tapi sekali lagi, kisah-kisah itu tentu saja adalah hasil penelitian Jhamtani pada masa-masa sebelum tahun 2008. Kita perlu meninjau lebih lanjut jika ingin mengetahui bagaimana perkembangan masyarakat lokal di daerah-daerah yang disebut olehnya. Tapi setidaknya, aksi konkret berbasis masyarakat (berbasis komunitas) di bidang pertanian itu memang ada, dan Jhamtani telah merekamnya ke dalam buku ini.

Pangan adalah politik! Saya kira, pelaku, peneliti, pegiat, dan pecinta ilmu/praktik pertanian harus menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi penting. Terutama karena kontekstualisasi pembahasannya di ranah kebijakan mikro dan makro sekaligus, yang dengan jelas menawarkan solusi (dan menurut saya, apa yang disarankan oleh Jhamtani itulah yang sebenarnya tengah dilakukan oleh kolektif-kolektif tani zaman sekarang, semacam Komunitas Kebun Pancoran).